Puasa dan Kepedulian Sosial
Tujuan puasa yang kita lakukan ini adalah mencapai derajat muttaqin (Q.S.Al Baqarah :183)
Salah satu hakikat dari keimanan dan ketaqwaan seseorang adalah adanya kepekaan dan kepedulian sosial. Islam menempatkan nilai kepedualian sosial pada kedudukan yang sangat tinggi. Indikasi keimanan seseorang dapat dilihat dari kepeduliannya terhadap orang lain.
لاَيُؤْ مِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لاِخِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman seseorang sehingga ia mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Bahkan seseorang yang tidak mempunyai kepekaan sosial terhadap anak yatim dan orang miskin dianggap orang yang mendustakan agama.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. (Q.S. Al Maa’uun : 1-3)
Secara simbolik sholat yang diawali dengan Takbir, rukuk dan sujud, barulah selesai setelah kita ucapkan “salam” dengan memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri. Ini bermakna, bahwa semua pengabdian kita kepada Allah SWT haruslah bermuara pada penyebaran “salam” yang berarti : keselamatan, kedamaian, kesejahteraan dan kemaslahatan kepada lingkungan sosialnya.
Puasa yang tengah kita lakukan dengan menahan lapar dan dahaga selama sebulan semata-mata karena Allah, akan kita akhiri dengan membayar zakat fitrah yang merupakan manifestasi dari kepedulian kepada fakir miskin,
Ketika kita berpuasa, sesungguhnya kita tengah menghayati dan menikmati rasa lapar. Laparnya orang yang berpuasa adalah kelaparan yang nikmat, karena lapar yang disengaja untuk mengabdi kepada-Nya. Disaat itulah diasah jiwa kita untuk peka melihat betapa masih banyak saudara-saudara kita yang juga tengah kelaparan. Namun kelaparan mereka bukan kelaparan yang nikmat, tetapi lapar penderitaan oleh tekanan kemiskinan dan keadaan. Jutaan saudara kita yang lapar karena bencana alam, kekeringan, banjir, tanah longsor, korban penggusuran dan penderitaan yang berkepanjangan.
Kalau kita merasakan lapar dan dahaga saat berpuasa, kita sudah dapat menghitung dengan pasti : berapa jam, menit bahkan berapa detik lagi lapar-dahaga kita akan segera sirna dengan hidangan buka puasa yang telah tersedia. Sedangkan saudara-saudara kita tersebut belum dapat menghitung berapa hari, berapa bulan, bahkan berapa tahun lagi mereka dapat berbuka.
Kalau seseorang yang berat menjalankan puasa, maka dapat menggantikan puasanya itu dengan membayar fidyah, yaitu memberikan makan kepada seorang miskin. (Q.S. Al Baqarah : 184)
Sedangkan seseorang yang sengaja meninggalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan oleh syar’i, maka puasa sehari yang sengaja ditinggalkan tersebut tidak dapat diganti dengan puasa sepanjang hayatnya.
مَنْ اَفْطَرَيَؤْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِىغَيْرِرُخْصَةٍ رَخَّصَهَااللهُ لَهُ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ, وَاِنْ صَامَهُ (رواه ابودود, وابن ماجه, والترمذى)
“Siapa yang meninggalkan puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa adanya keringanan yang diberikan oleh Allah kepadanya, tidak akan dapat dibayarnya walau dengan berpuasa sepanjang masa”. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Dengan menganalogikan dua hal tersebut, maka secara tersirat dapat kita tangkap hikmah: memberikan makan kepada seorang miskin, membebaskan mereka dari rasa lapar sehari, nilainya lebih tinggi dari puasa sepanjang masa. Wallahu a’lam
0 Komentar